
<!– @page { size: 21.59cm 27.94cm; margin: 2cm } P { margin-bottom: 0.21cm } –>
Suatu sore, di sebuah halte di wilayah segitiga emas perdagangan di jantung Metropolis. Karena jam pulang kerja untuk wilayah ini hampir seragam, tak heran di halte itu sudah penuh calon penumpang yang sama-sama mau menunggu angkutan umum.
Seorang gadis manis nampak berdiri diantara orang-orang tersebut. Dari model baju yang dikenakannya bisa jadi gadis manis ini adalah seorang karyawati sebuah bank, atau setidaknya seorang staff administrasi disalah satu kantor pengisi gedung-gedung pencakar langit yang memagari halte tersebut.
Sesekali gadis manis tersebut melirik jam tangan mungilnya. Namun mata jernihnya lebih sering mengamati belokan di ujung jalan itu, dimana angkot yang biasa menjadi jalurnya selalu muncul di kejauhan.
Sekitar 25 menit kemudian, orang-orang yang berlindung di bawah halte itu melihat sebuah bis kota merambat pelan mendekat dari ujung jalan. Serentak sekumpulan orang mulai berdiri dan bersiap berdesakan naik bis tersebut. Beberapa meter dari halte, beberapa orang sudah ada yang mulai naik ke dalam bis bahkan sebelum benda sebesar paus itu benar-benar berhenti, orang-orang semakin menyemut begitu bis ada di depan halte.
Si gadis hanya tersenyum geli melihat kerumunan orang-orang yang berebutan naik seolah sedang ada pembagian uang didalam bis kota. “weleh bis ini dah penuh sejak muncul dari belokan sana, eh sekarang malah ditambahi orang lagi” pikirnya setengah melamun.
“Bu Nin aku duluan ya..” sebuah suara berat membuyarkan pikirannya, Rudi dari bagian security si pemilik suara melambai singkat padanya dan segera lenyap dalam kerumunan sesak tersebut.
“Buseet, nekat juga si Rudi” pikir Nin setengah kaget,
“Aku bakal ogah biar dibayarin sama Bill Gates untuk naik kesana…” dia terkikik sendiri membayangkan fakta ngapain juga Mr. Gates harus bayarin dia.
“Ayo Pasar Baru,,!! Pasar baru!!” teriakan seorang kenek angkot memecah pikirannya. Rupanya setelah bis kota tadi pergi, segera disusul oleh angkot ini. “Alhamdulillah, dateng juga angkotnya…” pikir Nin lega. Ya rumah Nin memang memiliki akses yang cukup mudah, hampir semua kendaraan umum yang lewat halte ini pasti lewat rumahnya. Nin sudah hendak melangkah, ketika kakinya terhenti dan matanya menatap penumpang di angkot itu.
“Aduh…. penuh banget neeh angkot” batinnya, yang segera diamini oleh gelengan kepala Nin pada sang kenek.
“alaaah. Tar aja Nin,” sebuah suara kecil dari dalam dirinya mengomentari,
“nunggu kalo yang longgaran aja.., pasti banyak. Toh semua kendaraan umum juga bisa sampe rumah”.
Sepuluh meit kemudian, dari ujung jalan muncul sebuah Bis Patas AC, orang-orang disekitar Nin nggak banyak yang berdiri, hanya satu dua orang, kebanyakan dari mereka menggendong bayi atau balita. Bis Patas harganya cukup mahal selisih 5000 rupiah dengan angkot dan selisih 7000 dari Bis Kota, rupanya bilangan ini mengendurkan niat orang-orang yang disitu untuk berdiri, termasuk Nin.
“wah naik ga ya??.. “ tanya Nin pada dirinya sendiri ketika pintu bis patas AC membuka anggun dihadapannya, namun kakinya terasa berat untuk digerakkan, sepertinya dibebani oleh 750 kg keraguan untuk melangkah.
“ga deh… 5000 perak kan lumayan buat tambahan beli deodorant” simpulnya mengiringi desis pintu Bis yang mulai menutup, untuk selanjutnya berangkat. Meninggalkan halte seiring bergulirnya waktu hingga …
“Trruuuuung tung tung tung…!!!”
Suara cempreng, sember, bariton keselek, dan ringkikan kuda lagi masuk angin yang digabungkan jadi satu, memekakkan telinga orang-orang yang disitu. Sumber suara ini ternyata sebuah bajaj butut berwarna hitam kemerahan, bukan merah kehitaman sepreti Bajaj seharusnya.
“waduh, parah banget nih bajaj, lebih banyak debunya daripada warna catnya” pikir Nin,
Suara Bajaj ini benar-benar mencuri perhatian seluruh komunitas kecil dibawah halte tersebut, bahkan untuk mengatasi suara memusingkan ini, beberapa anak SMP disamping Nin terpaksa harus teriak-teriak ke temennya meneruskan gosip yang sudah dirangkai sejak tadi, demi mengalahkan auman sang Bajaj.
“Ayo Pak Bapak, Bu-Ibu, Yang mau naik Bajaj dijamin rah murah, Tak iye” Teriak supir bajaj menwarkan jasanya, logat maduranya dipadu dengan suara brisik knalpot bajaj, bener-bener tidak harmoni.
“Ayo… Semuany-nya yang mau naik, bajaj ini pet-cepet, tak iye”
Nin ketawa sendiri, Logat madura dari tukang bajaj ini mengingatkannya pada Rozali, teman sekantornya yang meski dari madura tapi bisa begitu imut, cerdas, memikat, sering dapet tender, …
“YA.. SUDDAH KALO sampiyan Dak ada yang Mau!!!”
“nanti selak Hujan mriang smua sampiyan”
Rupanya supir Bajaj ini sudah berada di ujung asanya, dan mulai melaju lagi mencari rezeki di depannya, meninggalkan gema suara bising diantara cekikikan bocah-bocah SMP dibelah Nin.
Diseberang sudut mata Nin, dia melihat bahwa langit sudah benar benar gelap, lampu penerangan jalan sudah menyala sejak tadi, sebuah perasaan hampa menyelimuti Nin, sebuah kesadaran tentang… Hari sudah semakin senja, desakan waktu untuk segera pulang semakin menekan. Seperti langit yang semakin lama semakin suram, pucat oleh temaram lampu kota.
–oOo–
Demikianlah hidup itu kawan, kita hanya bisa menunggu garis nasib di rentang oleh-Nya untuk menghampiri kita, tanpa punya hak apapun untuk menuntut apapun kepada-Nya. Seluruh aspek dan komponen kehidupan juga berjalan dengan diagram alur yang serupa, rejeki, cinta, pekerjaan.
Seringkali kita dihadapkan pada terlalu banyak pilihan, yang menjerumuskan kita untuk menjadi seorang pemilih, Masa depan adalah anugrah. Hanya bisa kita sukuri, dan jalani secara sebaik mungkin dengan apapun yang kita bisa dan miliki.
Tidak selalu kehidupan kita datang sesuai harapan, selalu ada sisi kurang dalam segalanya. Tidak ada yang namanya Jaminan, yang ada hanyalah kesempatan-kesempatan yang menunggu kita untuk memberikan reaksi terbaik kita.
Seperti sedang menunggu sebuah angkutan umum, seringkali seseorang merasa bahwa Bis ini kurang cocok karena begini, angkot ini kurang bagus kaarena begitu, Si anu kurang sip karena itu, Kerja seperti ini kurang pas karena tidak sip.
Seorang sahabat yang bijak memberitahuku bahwa hidup itu bagaikan sebuah paket hamburger, suka atau tidak anda dengan mentimun, Burger selalu disajikan dengan mentimun yang juga harus kita bayar. Jadi ambil sajalah dulu, baru sikapi kemudian.
Tidak selalu kesempatan yang kita impikan muncul didepan kita, beruntunglah orang yang menemui kesempatan seperti itu. Karena lebih mudah mengejarnya, namun sungguh malang jika seseorang hidup dalam bayang-bayang impian dan ketakutan semata. Tidak pernah bisa maju dalam kehidupannya.
Hingga tiba suatu masa dimana kita menyadari bahwa hidup ini sudah berjalan telampau lama. Sudah dekat akhir waktu bagi kita namun kita belum melakukan apapun.
Yang paling penting untuk dilakukan oleh manusia adalah. Memahami situasinya saat ini, dan menjalaninya secara sebaik-sebaiknya dengan segala potensi yang dipinjamkan-Nya pada kita.